Sejarah Lumindai
Seperti halnya nagari lainnya dalam wilayah kultural Minangkabau, yang menarik asal muasal nenek moyang dari Pariangan nagari tertua di Luhak Tanah Data Minangkabau atau datang dari puncak gunung Marapi. Demikian pula halnya masyarakat Lumindai secara turun temurun mewariskan kisah dan cerita asal muasal sebagaimana pepatah petitih adat Minangkabau menggambarkan: Dimano titik palito Dibaliak telong nan batali Dimano asa niniak kito, Dibaliak leriang Gunuang Marapi.
Dari kisah dan cerita ninik-ninik / mamak-mamak orang Lumindai yang diterima turun temurun. Nenek moyang mereka datang dari leriang / lereng Gunung Marapi. Rombongan yang datang dari Lereng Gunuang Marapi itu disebut-sebut dipimpin atau diketuai oleh orang yang bernama "Mindai" yang kemudian menetap dan mendiami wilayah sekitar Puncak Panjaringan.
1. Gambaran asal muasal dan daerah tempatan pertama nenek moyang orang Lumindai sebagaimana dalam petatah petitih adat Minangkabau yang menyebutkan; Samanjak durian ditakuak rajo, mangko banamo alam Minangkabau, asal niniak dari lereang gunuang marapi dari situ bakambang, sabagian rombongan niniak yang turun dari lereang gunuang marapi, pergi ke Puncak Penjaringan.
2. Untuk membangun tatanan kehidupan di tempat baru itu. Rombongan kemudian mencari sumber air dan menetap sekitar lokasi sumber air yang ditemukan. Lokasi sumber air itu kemudian hari dikenal dengan nama ulu aie (hulu air). Kehidupan rombongan terus berkembang, hingga terpenuhi syarat terbentuk sebuah dusun. Dusun pertama kemudian terbentuk dengan nama dusun Batang Sipingai terbentuk sebuah taratak yang diberi nama Taratak Batang Mindai.
3. Waktu berjalan, anak keturunan dan kehidupan terus berkembang. Kebutuhan lahan pemukiman, pertanian dan pengembangan daerah bagi masa depan kehidupan perlu ditata. Karena itu, dilaksanakan musyawarah mufakat di daerah pertama ditempati. Di tempat itu pula tersaring orang-orang yang akan ikut serta untuk memperluas daerah. Maka sejak itu nama tempat itu dikukuhkan dengan nama Puncak Penjaringan.
Dari Puncak Panjaringan, daerah dikembangkan dengan turun ke Koto Tuo, daerah yang berada di bawah Puncak Panjaringan. Dari Koto Tuo kemudian barulah menyebar keseluruh Lumindai sekarang. Namun ada juga yang menyebar ke Puncak Kubu dan Koto Lowe atau Koto Laweh (sekarang masuk wilayah administrative Pemerintahan Kabupaten Solok).
4. Pada hari yang ditetapkan untuk melaksanakan kesepakatan, penduduk berkumpul disebuah tempat, daerah antara Koto Tuo dan Puncak Penjaringan. Disana terdapat lesung batu penumbuk padi. Ditempat itu mereka berkumpul dan kemudian akan berpisah menuju masing-masing tempat dan daerah yang akan dituju. Karena akan berpisah, mereka saling bertangis-tangisan berurai air mata, sedih berpisah dengan sanak saudara. Air mata yang berurai itu tertampung di lesung yang ada ditempat itu.
Sejak peristiwa itu, lesung batu itu selalu basah digenangi air meskipun kemarau. Tempat itu kemudian dinamakan Puncak Losuang Manangi atau lebih populer dengan sebutan Losuang Manangi (Lesung Menangis). Perkembangan dan penyebaran penduduk selanjutnya disebutkan juga ke wilayah Solok, Lunto, Kubang, Sibarambang dan Kajai (Balai Batu Sandaran).
5. Lalu bagaimana dengan asal kata nama Lumindai itu? Kata Lumindai sendiri berasal dari kosa kata Ulu dan Mindai. Kosa kata Ulu bagi masyarakat Lumindai dimaknai sebagai 'awal' atau 'pertama'. Sedangkan kata Mindai berkaitan nama niniak (moyang) yang pertama turun di daerah Puncak Penjaringan. Karena itu orang Lumindai menyebut juga Puncak Penjaringan dengan Ulu Mindai yang sesungguhnya bermakna menunjukkan sejarah asal muasal mereka. Ulu Mindai belakangan lebih populer dengan nama Lumindai, hal itu berkaitan dengan logat dan kebiasaan pengucapan masyarakat secara cepat. Sehingga lama kelamaan dalam waktu yang panjang Ulu Mindai hanya berbunyi kata Lumindai seperti saat ini.
Versi lain asal nama Lumindai berkaitan dengan alam daerah itu, dimana daerah terdapat 2 (dua) hulu Sungai yaitu sungai Batang Lunto dan sungai Batang Mindai, namun tak satupun sungai tersebut yang melewati perkampungan. Oleh penduduk waktu itu disebut hulu mainda yang diartikan menghindar. Pada waktu itu orang memberi nama suatu tempat berdasarkan kejadian / kenyataan, maka berdasarkan hal tersebut;
Pertama: Daerah ini mempunyai 2 (dua) Hulu Sungai, yang "mainda" (menghindar).
Kedua: Ketua rombongan orang pertama yang menetap di daerah ini bernama si 'Mindai'. Dari kedua kejadian/kenyataan ini lah terlahir nama Lumindai.
Menelusuri sosok Niniak Mindai misalnya, melalui catatan inventaris kekayaan nagari berkaitan situs kebudayaan berupa makam atau kuburan Niniak Mindai, Kuburan Angku Laweh dan Kuburan Niniak Kayo Bauntai.
Menapak jejak Niniak Mindai melalui catatan dan memori kolektif masyarakat Lumindai disebutkan bawah: 'Kuburan niniak mindai ko di dokek batang macang, mangko banomo disitu macang mindai, daerahnyo di ateh bukik dakek daerah'. Koto Tuo, kalau mano nan kubunyo ndak joleh do, tapi kalau lokasinyo lai ado, bisa kami tunjuan, jankan kubu baliau lai, kubu niniak nan tigo atau ompek mungkin kito ndak tau di mononyo'.
(Kuburan niniak Mindai berada dekat pohon ambacang, makanya tempat itu disebut macang mindai, tempat berada diatas bukit dekat daerah Koto Tuo, tapi yang mana kuburannya sudah tidak jelas lagi, tapi kalau lokasinya ada, bisa kami tunjukkan, jangankan kuburan beliau (NinikMindai). Kuburan nenek moyang yang 3 (tiga) atau 4 (empat) mungkin kami tidak tahu dimananya).
Sebagai wilayah hukum adat Nagari Lumindai dengan kepemimpinan tradisonal Minangkabau yang dikenal dengan Angku Palo. Dalam ingatan kolektif masyarakat Lumindai, Angku Palo pemimpin Nagari. Pada zamannya Angku Palo dipilih dan ditetapkan karena memang mereka orang-orang pilihan yang punya kemampuan lebih dari kebanyakan masyarakat lainnya. Jabatan Angku Palo dapat dikatakan seumur hidup, karena Angku Palo baru akan ada pergantian bila ia meninggal dunia. Selain nagari dipimpin Angku Palo dalam sejarah perjalanannya di Lumindai mengenal pula istilah Wali Nagari. Adapun Angku Palo Nagari Lumindai diantaranya;
- Angku Palo Maronti (1916)
- Angku Palo Kanajek (1927-1933)
- Angku Palo Kutar Dt. Rajo Malono
- Angku Palo Narulloh
Bagaimana sejarah dan kehidupan bernagari di Lumindai sesungguhnya mestinya dapat diketahui melalui catatan serupa memori para Angku Palo ataupun Wali Nagari dimasa lalu sebagaimana terungkap bahwa:
Dahulu terdapat buku naskah manuskrip, bukan tambo, tapi sebentuk catatan memori bersambung dan berkesinambungan dari Angku Palo Nagari ke Angku Palo berikutnya. Catatan berupa memori itu bertuliskan Arab Melayu setebal lebih kurang 137 halaman. Namun sangat disayangkan buku naskah manuskrip itu sudah tidak lagi ditemukan. Bila dibaca dan disimak isinya berupa wasi’ah atau wasiat nasehat.
Kepala Desa Lumindai, Chairunnas, S.Ag. yang berlatar sarjana IAIN mengungkapkan secara garis besar isi buku tersebut:
Catatan pertama ditulis Angku Palo Maronti, diantara berkaitan wilayah dan batas-batas Nagari Lumindai dengan nagari lainnya, juga sejarah niniak (moyang) orang Lumindai, dan beliau berpesan agar catatan tulisan ini dilanjutkan oleh Angku Palo selanjutnya. Catatan bersambung itu dilanjutkan sampai Angku Palo Nasrulloh yang mencatatkan tentang sejarah Aia Bontan, adat budaya nagari di Lumindai. Begitupun Angku Palo sebelumnya meneruskan membuat catatan dan memori tentang kehidupan nagari Lumindai dimasa dan zamannya masing-masing.
Sesungguhnya pada masa dahulu terdapat berbagai naskah manuskrip tentang sejarah nagari, perjanjian dan ranji keturunan. Namun dimasa Belanda masuk ke Lumindai membumi hanguskan rumah-rumah, bahkan sampai sekarang pun tidak satupun rumah adat atau rumah gadang terdapat di Lumindai.
Lumindai, Nagari sampai Desa
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, daerah Lumindai masuk kedalam Onderafdeeling Sawahlunto sesuai dengan Staatsblad Tahun 1913 Nomor 321. Pada tahun 1913 Lumindai merupakan sebuah nagari yang masuk ke dalam wilayah kelarasan Tandjoeng Balit bersama dengan nagari Sibarombang, nagari Tandjoeng Balit, nagari Koendji.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di Indonesia. Daerah Lumindai masih berupa Pemerintahan Nagari yang terdiri dari 4 (empat) yaitu;
- Jorong Guguk Bungo,
- Jorong Batang Lunto,
- Jorong Pasar Mudik dan
- Pasar Hilir
Seperti nagari-nagari lainnya, di wilayah hukum adat Minangkabau di Sumatera Barat, Nagari Lumindai dipimpin oleh seorang Wali Nagari atau dikenal pula Angku Palo pada periode-periode tertentu. Sedangkan di wilayah jorong, masing-masing terdapat Wali Jorong.
Dengan keluarnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang secara efektif diberlakukan di Sumatera Barat tahun 1980. Pemerintahan Nagari Lumindai di Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Solok, otomatis dihapuskan secara administrative pemerintahan. Sedangkan 4 (empat) Jorong Nagari Lumindai berubah menjadi administrasi Pemerintahan Desa, dan 4 (empat) Wali Jorong otomatis menduduki jabatan Kepala Desa pada masing-masing desa berikut;
- Desa Guguk Bungo,
- Desa Batang Lunto,
- Desa Pasar Mudik, dan
- Desa Pasar Hilir
Sejarah administrasi pemerintahan desa-desa di Lumindai kembali mengalami perubahan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1990 Tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sawahlunto, Kabupaten Daerah Tingkat II Sawahlunto/Sijunjung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Solok.
Perluasan Wilayah Kota-madya Daerah Tingkat II Sawahlunto yang semula seluas kurang lebih 577,7 Ha hingga menjadi kurang lebih 27.344,7 Ha. Batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sawahlunto kemudian berubah dan diperluas dengan memasukkan sebagian dari Wilayah Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Daerah Tingkat II Solok sebanyak 11 (sebelas) Desa yaitu;
- Desa Batu Tungga,
- Desa Guguak Balang,
- Desa Pabusuik,
- Desa Ladang Laweh,
- Desa Pasa Mudiak,
- Desa Pasa Hilia,
- Desa Guguak Bungo,
- Desa Batang Lunto,
- Desa Koto,
- Desa Panantian,
- Desa Parik.
Dengan digabungkannya sebagian dari wilayah Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Daerah Tingkat II Solok, terutama 4 (empat) wilayah desanya (desa Pasa Mudiak, desa Pasa Hilia, desa Guguak Bungo, desa Batang Lunto) menjadi bagian Wilayah Administratif Kota Sawahlunto. Pada tahun 1992, 4 (empat) desa dalam Wilayah Hukum Adat Nagari Lumindai itu dilebur menjadi 1 (satu) Desa dengan nama Desa Lumindai yang terdiri dari 5 (lima) dusun.
Dari lima (5) nama dusun di Desa Lumindai, 4 (empat) nama dusun sesungguhnya merujuk nama jorong-jorong pada masa pemerintahan nagari dan nama desa-desa pada, masa pemerintahan desa masa sebelumnya. Nama sedangkan Dusun Siromai merupakan pengembangan wilayah Desa Batang Lunto menjadi 2 (dua) dusun yaitu; Dusun Batang Lunto dan Dusun Siromai. Dengan demikian Desa Lumindai sekarang memiliki 5 (lima) wilayah dusun sebagai berikut;
- Dusun Pasa Mudiak,
- Dusun Pasa Hilia,
- Dusun Guguak Bungo,
- Dusun Batang Lunto,
- Dusun Siromai.
Adapun batas-batas wilayah Desa Lumindai Kecamatan Barangin adalah sebagai berikut;
- Sebelah utara berbatasan dengan desa Balai Batu Sandaran
- Sebelah timur berbatasan dengan desa Lunto Barat
- Sebelah selatan berbatasan dengan nagari Kota Laweh Kab. Solok
- Sebelah barat berbatasan dengan nagari Siberambang Kab. Solok
Sedangkan batas-batas daerah secara Wilayah Hukum Adat Nagari Lumindai dengan daerah lainnya adalah;
- Sebelah utara berbatasan dengan nagari Kajai
- Sebelah selatan berbatasan dengan nagari Koto Laweh
- Sebelah barat berbatasan dengan nagari Sibarambang
- Sebelah timur berbatasan dengan nagari Lunto